MPU
DHARMAJA, MPU MONAGUNA DAN MPU TRIGUNA
1. IKHTISAR SMARADAHANA
Ikhtisar
Smaradahana “ BUKU KALANGWAN”
Pada saat itu surga terancam oleh
Nilarudraka seorang raksaksa yang menjadi raja di senapura, dan hanya Siwa yang
dapat menghadapi. Indra mengutus Kama untuk mengganggu yoga Siwa digunung meru
didekat pohon darsana yang menaungi siwa tapa-brata, dua penjaga dalam wujud
raksaksa, nadiswara dan mahakala, berusaha untuk menakut-nakuti sambil
melepaskan daya kekuatan alam, tetapi mereka ditentramkan oleh para rsi, lalu
mengundurkan diri. kama mendekati sang dewa yang sedang bersemedi dan
menyembahnya dan seketika segala macam senjata dalam bentuk bunga diarahkan
kepada siwa , tetapi tidak ada satupun yang dapat mengganggunya. Kama marah
karena panahnya sia-sia dilepaskan. kama menyiapkan sebatang anak panah lain
dalam bentuk bunga yang lebih kuat, kali ini panah mengenai sasarannya dan
menembus hati siwa, sang dewa jatuh karena terkantuk dan dalam impian ia
melihat uma duduk dipangkuannya, siwa menyadari bahwa itu ulah yang dilakukan
kama, dalam sekejap Kama hangus oleh
api yang terpancar dari Siwa. Para Dewa, Ratih dan yang lainnya menangisi
Kematian Kama. Upacara pelayatan dilakukan pada musim semi dengan indah dan elok didalam
hutan. Dengan rasa takut indra pulang seketika, tetapi ditegur oleh wrshpati
karena sikapnya yang pengecut dan tidak menepati janjinya. Karena kesetiaannya, Ratih menceburkan diri ke api dan akhirnya bisa
bertemu dengan Kama namun tak dapat bersatu karena tak berbadan. Kama memasuki
hati Siwa, Ratih memasuki hati Uma. Dan tibalah pertemuan Siwa dengan Uma yang
menghasilkan buah, Putra yang dilahirkan Uma menyerupai seekor gajah karena
saat sebelum putra itu lahir, Indra membawa seekor gajah ke hadapan Uma yang
membuat Uma merasa ketakutan. Lahirlah sang hyang Gana, dan saat Nilarudraka menyerang para Dewa, Ganalah yang akhirnya
membunuh Nilarudraka saat peperangan para Dewa dengan para raksasa di bawah
pimpinan Nilarudraka. Akhirnya dunia kembali damai.
2. Waktu
Penulisan dan Pengarangnya
Pengarang yang menamakan diri
Mpu Dharmaja dalam cerita ini menunjukkan niatnya memuji Kama. Pujian tersebut
mengawali syair dan ditujukan kepada Sri Kameswara di masa Daha (Kadiri)
sebagai suatu tanda kehormatan. Bila dihubungkan
dengan pernyataan dalam pupuh 39, bahwa sri kameswara bersama
permaisurinya sri dewi kirana memerintah pulau jawa sebagai raja dan ratu di
tempat kediaman mereka di dahana( daha=
kadiri), maka ini memberikan sebuah indikasi mengenai tanggal digubahnya
kakawin ini. Sesuai dengan sebuah prasasti dari tahun 1185 yang menyebut nama
dan gelar-gelarnya, kameswara termasuk deretan nama raja-raja kadiri sebelum
srngga-krtajaya. Ini berarti bahwa mpu dharmaja hidup pada jaman mpu panuluh,
pengarang ghatotkacasraya.
Ikhtisar Kakawin Smaradahana (http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Smaradahana)
Ketika
Batara Siwa pergi bertapa, Indralaya didatangi
musuh, raksasa dengan rajanya bernama Nilarudraka, demikian heningnya dalam tapa,
batara Siwa seolah-olah lupa akan kehidupannya di Kahyangan. Supaya
mengingatkan batara Siwa dan juga agar mau kembali ke Kahyangan , maka oleh
para dewa diutuslah batara Kamajaya untuk menjemputnya. Berangkatlah sang
batara untuk mengingatkan batara Siwa, dicobanya dengan berbagai panah sakti
dan termasuk panah bunga, tetapi batara Siwa tidak bergeming dalam tapanya.
Akhirnya dilepaskannya panah pancawisesa yaitu:
- hasrat mendengar yang merdu
- hasrat mengenyam yang lezat
- hasrat meraba yang halus
- hasrat mencium yang harum
- hasrat memandang yang serba indah
Akibat panah
pancawisesa tersebut dewa Siwa dalam sekejap rindu kepada permaisurinya dewi Uma, tetapi setelah diketahuinya bahwa
hal tersebut adalah atas perbuatan batara Kamajaya. Maka ditataplah batara
Kamajaya melalui mata ketiganya yang berada di tengah-tengah dahi, hancurlah
batara Kamajaya. Dewi Ratih istri batara Kamajaya melakukan
"bela" dengan menceburkan diri kedalam api yang membakar suaminya.
Para dewa memohonkan ampun atas kejadian tersebut, agar dihidupkan kembali,
permohonan itu tidak dikabulkan bahkan dalam sabdanya bahwa jiwa batara
Kamajaya turun ke dunia dan masuk kedalam hati laki-laki, sedangkan dewi Ratih
masuk kedalam jiwa wanita. Ketika Siwa duduk berdua dengan dewi Uma, datanglah
para dewa mengunjunginya termasuk dewa Indra dengan gajahnya, Airawata yang
demikian dahsyatnya sehingga dewi Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya,
kemudian dewi Uma melahirkan putera berkepala gajah, dan kemudian diberi nama Ganesha. Datanglah
raksasa Nilarudraka yang melangsungkan niatnya "menggedor" khayangan.
Maka Ganesha lah yang harus menghadapinya, dalam perang tanding tersebut
ganesha setiap saat berubah dan bertambah besar dan semakin dahsyat. Akhirnya
musuh dapat dikalahkan, dan para dewa bersuka cita.
Raja Kediri
Dalam kitab
Smaradahana, disebut-sebut nama Raja Kediri Prabu Kameswara yang merupakan titisan Dewa Wisnu yang ketiga
kalinya dan berpermaisuri Sri Kirana Ratu putri dari
kerajaan Jenggala.
3.
ANALISIS IKHTISAR SMARADAHANA
Berdasarkan 2 sumber yang kami baca ada perbedaan di
antara kakawin smarandana:
Ø Ikhtisar smaradahana “ buku kalangwan” tidak menyebutkan bahwa didalamnya
terdapat panah pancawisesa yang dalam sekejap dapat membuat siwa rindu kepada
permaisurinya, sedangkan di ikhtisar smarandahana (http://id.wikipedia.org/wiki/kakawin_smaradahana) terdapat panah pancawisesa yaitu hasrat
mendengar yang merdu, hasrat mengenyam yang lezat, hasrat meraba yang halus,
hasrat mencium yang harum,hasrat memandang yang serba indah yang dalam sekejap
dewa siwa dapat rindu kepada permaisurinya dewi uma.
Ø
Ikhtisar smaradahana “ buku kalangwan” kama
memasuki hati siwa dan ratih memasuki hati uma, sedangkan dalam ikhtisar
smarandahana (http://id.wikipedia.org/wiki/kakawin_smaradahana) kamajaya memasuki hati
laki-laki dan ratih memasuki hati perempuan(tidak jelas orangnya).
Ø
Susunan cerita relatif
sederhana, yaitu : perbuatan kama yang lancang serta hukumannya; ratapan dan
kematian ratih ; kelahiran putera siwa, serta perananya dalam memusnahkan para
raksaksa. Oleh pengarang bagian-bagian ini lalu dilengkapi dengan uraian-uraian
wajib dalam kakawin besar. Dipandang dari sudut smarandhana lebih dekat pada
krsnayana dari pada syair panuluh.
Jadi ikhtisar smaradahana
itu berkaitan dengan raja kediri prabu kameswara yang merupakan titisan dewa
wisnu yang berpermaisuri sri kirana ratu putri dari kerajaan jenggala
manik.sambungan atau kaitannya degan kediri Kamesywara adalah raja Kerajaan
Kadiri yang memerintah
sekitar tahun 1180-1190-an, dengan bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita
Digjaya Uttunggadewa.
Pemerintahan Sri Kameswara
Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Kameswara naik
takhta. Peninggalan sejarahnya antara lain prasasti Semanding, 17 Juni 1182,
dan prasasti Ceker, 11 September 1185. Selain itu pada masa pemerintahan Sri
Kameswara ini seorang pujangga bernama Mpu Dharmaja menulis Kakawin Smaradahana,
yang berisi kisah kelahiran Ganesha, yaitu dewa berkepala gajah yang menjadi lambang Kerajaan
Kadiri sebagaimana yang
tertera pada prasasti-prasasti.
Kakawin Smaradahana
juga mengisahkan terbakarnya Kamajaya dan Ratih, menjelang kelahiran Ganesha. Pasangan dewa-dewi tersebut kemudian menitis dalam
diri Sri Kameswara raja Kadiri dan permaisurinya yang bernama Sri Kirana,
putri Janggala.
Sejak berdiri tahun 1042, Kerajaan
Kadiri dan Janggala selalu terlibat perang saudara. Pada tahun 1135 Sri
Jayabhaya raja Kadiri berhasil menaklukkan Janggala, berdasarkan prasasti Ngantang. Ditambah lagi dengan
perkawinan Sri Kameswara dengan Sri Kirana membuat persatuan kedua Negara lebih
erat lagi.
Kakawin Smaradahana
merupakan cikal bakal kisah-kisah Panji yang populer dalam masyarakat Jawa. Tokoh Panji Inu Kertapati Asmarabangun merupakan
pangeran Janggala
yang menikah dengan Galuh Candrakirana putri Kadiri. Dalam beberapa pementasan ketoprak, tokoh Panji kemudian menjadi raja Janggala bergelar Kameswara. Hal ini tentu saja kebalikan dari
fakta sejarah.
Tidak diketahui kapan pemerintahan Sri Kameswara
berakhir. Raja Kadiri selanjutnya berdasarkan prasasti Kamulan (1194)
adalah Kertajaya.
4.
IKHTISAR
SUMANASANTAKA
IKHTISAR SUMANASANTAKA “BUKU KALANGWAN”
Brahmin Trnawindu, seorang murid Agastya, sedang bertapa-brata sehingga
para dewa termasuk raja mereka, Indra merasa takut. Indra memanggil seorang
bidadari yang bernama Dyah Harini yang diberi tugas untuk turun ke bumi dan
menggoda Trnawindu. Meski ketakutan Ia
mulai turun ke bumi melewati pegunungan Windhya, Indrakila, Rewataka dan
Gandhamadana, tanpa menemukan Trnawindu. Di lereng selatan gunung Gandamandana
ia menemukansebuah pertapaan yang memencarkan cahaya ajaib, tanda kehahiran
pertapa yang sakti.Setelah mandi dan berdandan di sungai agar terlihat lebih
menarik, Harini menghaturkan salam hormat sambil memperlihatkan segala
kecantikannya, tetapi sang pertapa tidak memberi kesan bahwa ia terpengaruh. Ia menanyakan mengapa ia sendirian mengembara di
hutan. Adakah ia terpisah dari para pemburu istana.
Harini mengira bahwa usaha untuk
mempengaruhi sang pertapa tidak sia-sia. Ia tidak dating dari Surga Indra,
melainkan diutus dewa Dharma sebagai anugerah atas kebaktian Trnawindu yang tak
ada habisnya itu, agar ia melayaninya dan menyerahkan dirinya kepada cintanya.
Sang pertapa yakin bahwa wanita itu datang untuk mengganggu tapa-bratanya dan
bahwa indra mendalangi ini semua, dam Ia mengucapkan utukan bahwa Harini tidak
akan kembali lagi ke surga. Harini kemudian meniggal dunia dan dewa Agni yang
tinggal di dalam tubuhnya menghanguskan jenazahnya.
Dibawah pemerintahan
raja muda Negara menikmati kemakmuran besar. Beberapaa tahun kemudian tibalah
saatnya bagi Indumati untuk dinikahkan dan iaa diberitahu oleh kakaknya
mengenai rencananya untuk mengadakan suatu swayambara. Setelah memberi hormat
kepada almarhum orang tauanya yang patunggnya dalam bentuk ardhanariswara berdiri
dalam sebuah candi yang terletak di halaman kraton, Bhoja memberikan perintah
bagi segala persiapan yang diperlukaan dan segera seluruh kota sibuk dengan
aneka macam kegiatan. Raja-raja tetangga menerima undangan Bhoja; khusus berita
bahwa raja Ayodhya, Raghu, memberi ijin kepada putranya Aja, untuk ikut dalam swayambara itu,
menyebabkan para wanita dalam keratin menjadi gandrung. Ada seorang wanita yang
mempunyai alasan istimewa untuk menantikan kedatangan Aja dengan hati yang ber
debar-debar.
Aja memohon diri pada ayahnya yang
memberikan petunjuk bagaimana ia haus bersikap, lalu berpamitan dengan ibunya.
Ketika ia berangkat dengan suatu iringan besar para Brahmin mengucapkan
mantra-mantra sekedar untuk mengucapkan selamat dan para wanita kota keluar
dari rumahnya untuk menyampaikan selamat jalan dengan hati yang pilu. Kawidosa
mengikuti Aja sebagai abdinya yang setia.
Seketika dalam perjalanan, sampai di tepi sungai Narmada. Ketika mereka
sedang beristirahat, seekor gajah liar muncul dari air dan menyerang mereka.
Aja menyerang gajah itu dan membunuhnya dengan melepaskan satu anak panah saja.
Seketika gajah itu menjelma menjadi seorang widyadharwa, yaitu Priyambada,
putera raja Citraratha, seorang gandharwa. Sebagai tanda terima kasih ia
mempersembahkan kepada Aja anak panah Sangmohana yang penuh kesaktian itu,
bersama dengan pengetahuan tentang mantra-mantra yang dibutuhkan agar dapat
mempergunakannya; anak panah itu tidak membunuh musuh, hanya membius.
Para tamu berdarah ningrat telah tiba di Widarbha; kota penuh orang yang
turut dalam rombongan para tamu. Ketika Raja Bhoja mendengar bahwa Aja dating, ia menyongsongnya dan
mengantarnya ke penginapan yang telah disediakan baginya. Swayambara akan
dilangsungkan kekesokan harinya dan sang puteri mengungkapkan kepada para
temannya betapa ia merasa ragu-ragu dan bingung menghadapi kejadian esok hari.
Kota penuh dengan orang-orang dalam suasana pesta. Rakyat disepanjang
jalan, khusus para wanita memperdengarkan ramalan dan komentar mereka ; yang
menurutnya tipissekali kemungkinan seorang raja akan terpilih bila dibandingkan
dengan pangeran Aja.
Sang putri Indumati mendekati beberapa pangeran yang menyatakan cinta
padanya, tetapi ia menolak semua pangeran. Kini indumati mendekati pangeran Aja
dan dalam hati ia telah menjatuhkan pilihannya. Merekapun saling tertarik satu
sama lain. Bagi pelamar lain inilah satu tanda kekalahan mereka, mereka merasa
marah dan meluaplah rasa kedongkolan
mereka.
Kedua kekasih meninggalkan pagelaran bersama-sama dalam satu Tndu dan
segera upacara pernikahan dimulai. Setelah itu Aja mengungkapkan niatnya untuk
pulang ke negerinya sendiri, tetapi Indumati memohon agar ia tinggal di
Widarbha, jangan sampai ia meninggalkannya. Kakaknya pasti tersedia turun
takhta dan menyerahkannya kepada Aja. Usul ini dtolak oleh Aja, tetepi ia juga
merasa sedih jika harus berpisah.
Disebuah dusun di pegunungan Aja diberitahu oleh para tua-tua,bahwa para
raja yang ditolak itu merencanakan untuk menyergap kedua mempelai dengan
tentara mereka. Dengan hati-hati Aja beserta rombongannya maju dan ketika
mereka melihat pihak musuh,mereka lalu siap-siap untuk bertempur. Satu per satu
raja menyerang Aja, tetapi senjata-senjata mereka ditumpulkannya dan ketia
mereka menyerang bersama-sama ia tidak mundur. Aja menyerang mereka dengan
senjata pemberian dari Priambada, yaitu Sangmohana, sehingga membius semua
lawannya dan pertempuran selesai.
Aja dan rombongannya meneruskan perjalanan dan tinggal beberapa lama
dalam sebuah kabuyutan (pertapaan) untuk menikmati istirahat yang pantas serta
keindahan hutan. Satu bulan sesudah mereka meninggalkan Widarbha, mereka tiba
di Ayodhya. Tak lama kemudian raja Raghu mengundurkan diri agar puteranya dapat
naik tahta. Beberapa waktu kemudian raja Raghu meninggal, dan Indumati
melahirkan seorang putera yang diberi nama Dasaratha.
Pada salah satu perjalanan Aja menulis sebuah sajak pendek pada papan
bambu yang menitari sebuah mahatein (gardu); sajak itu berisi tentang kesedihan
seorang kekasih yang akan bunuh diri. Sajak itu dibaca Indumati dan hatinya
mulai merasa sedih. Indumati merasa takut kalau-kalau ia akan kehilangan Aja.
Ketika Dewa Paramartha (Siwa) bersemayam di atas gunung Gokarna, ketujuh
saptarsi (bijak-bijak dari surga) dating menyembah; di antara mereka terdapat
Narada yang bernyanyi dan memeinkan sebuah alat musik. Sebuah kalung bunga
sumanasa yang terikat akan alat itu terbawa angina dan jatuh pada dada
Indumati. Seketika itu juga ia jatuh pingsan. Aja pun jatuh pingsan dan ketika
ia terbangun kembali tubuh Indumati yang rupanya tak bernyawa lagi, terbaling
di pangkuannya. Dengan tatapan yang penuh emosi ia mempersalahkan bunga
sumanasa itu. Indumati sadar sesaat dan mengatakan pada Aja kalau dia harus
setia padanya selama perpisahan menimpa mereka, kemudian ia meninggal.
Delapan tahun kemudian Dasaratha naik takhta. Aja dan Kawidosa
mengakhiri hidup mereka di sebuah tempat pemandian suci, yaitu pada pertemuan
antara sungai Gangga dan Sarayu; mereka kembali ke surga dam di sana berjumpa
dengan isterinya masing-masing. Di taman Nandana mereka dapat menyerahkan diri
tanpa gangguan kepada kenikmatan karena mereka telah bersatu kembali. “Di taman
Nandana tamatlah kisah Sumanasantaka’’.
5. WAKTU PENULISAN DAN PENGARANGNYA
“BUKU KALANGWAN”
Krsnayana ditamatkan dengan membandingkan hubugan antara pengarang
Triguna dengan sri naranatha Wasajaya di satu pihak dan mpu Kanwa dengan raja
Erlangga di lain pihak. Kutipan ini hanya membuktikan, bahwa Warsajaya hidup
sesudah jaman Erlangga. Ada banyak kebebasan dalam pemakaian nama dan gelar
untuk menyebut seorang raja atau pangeran. Namanya disebut empat sampai lima
kali, tetapi tidak pernah dalam bentuk Jayawarsa. Sebagai pengganti kita
berjumpa dengan sri Sastraprabu, sri Jayadhartaprabu dan dua kali, sri
Jayaprabu. Damais yang memperbaiki tanggal penulisan piagam itu (dulu
tanggalnya dibaca sebagai 1026 Saka) mencatat ; “Gelar seorang raja (dalam
prasasti-prasasti) sering menunjukan variasi-variasi, tetapi tak pernah
demikian luas. Dalam Sumanasantaka, Jayawarsa disebut sebagai sri Warsajaya,
dalam Krsnayana sebagai sri naranatha Warsajaya. Gelar-gelar seperti naranatha
dan nrpati tidak hanya dipakai oleh raja yang sedang memerintah.
6. HUBUNGANNYA DENGAN SASTRA INDIA
“BUKU KALANGWAN”
Dalam Sumanasantaka raja Raghu hanya memainkan peranan kecil, sehingga
kurang masuk akal, bila Monaguna menamakan kakawinnya “Sumanasantaka, kisah
tentang raja Raghu”. Tetapi andaikata kita menejermahkan kata-kata itu dengan “kisah Sumanasantaka
seperti diceritakan dalam kitab Raghu”, maka seketika menjadi jelas sekali.
Cerita tentang Aja dan Indumati sangat terkenal dalam sastra India, karena
merupakan bagian dari mahakawya Raghuvamsa (silsilah Raghu).
7. IKHTISAR
SUMANASANTAKA, PENGARANG DAN WAKTU
PENULISANNYA. “SUMBER
INTERNET”
Karena suatu ketakutan, Indra
mengutus Harini untuk menggoda Trnawindu yang sedang melakukan tapa brata.
Trnawindu mengetahui bahwa ini adalah siasat Indra. Ia marah, mengutuk Harini
akan dilahirkan sebagai manusia. Harini memohon agar kutukan itu dicabut namun
itu tidak dapat dilakukan. Tapi Trnawindu berjanji bahwa kekasihnya di surga
akan dilahirkan sebagai manusia (pangeran Aja), dan riwayat Harini akan
ditamatkan oleh sekuntum bunga Sumanasa. Harini dilahirkan sebagai putri
seorang raja yang memerintah rakyat Krthakesika, ia bernama Indumati namun
akhirnya kedua orang tuanya meninggal dan tahta diambil alih oleh kakaknya
yaitu pangeran Bhoja. Bhoja mengadakan Sayembara untuk Indumati dan pangeran
Aja dari Ayodya keluar sebagai pemenang dan berhasil membawa pulang Indumati
sebagai istrinya, mempunyai anak yang bernama Dasaratha. Suatu saat, Narada
melakukan suatu pujaan dengan memainkan alat musik bersama dengan para Sapta
Rsi. Sebuah kalung bunga Sumanasa jatuh dari alat musiknya dan jatuh di dada
Indumati, dan beberapa saat kemudian ia meninggal dan kembali ke surga.
Pangeran aja meninggal di sebuah tempat pemandian suci pertemuan sungai Gangga
dengan Sarayu. Delapan tahun kemudian Dasaratha naik tahta. Ini adalah syair pertama yang ditulis oleh
Mpu Monaguna, ditulis pada masa Kadiri tepatnya pada masa Raja Warsajaya, yakni
Warsajaya sendiri merupakan guru dari Monaguna.
8. ANALISIS IKHTISAR SUMANASANTAKA
Dalam buku
“Kalangwan” kisah Ikhtisar Sumanasantaka
disajikan secara lengkap dari kejadian awal sampai akhir. Juga masih
menggunakan nama-nama raja disebut empat sampai lima kali, tetapi tidak pernah
dalam bentuk Jayawarsa. Sebagai pengganti kita berjumpa dengan sri Sastraprabu,
sri Jayadhartaprabu dan dua kali, sri Jayaprabu. Damais yang memperbaiki
tanggal penulisan piagam itu (dulu tanggalnya dibaca sebagai 1026 Saka)
mencatat ; “Gelar seorang raja (dalam prasasti-prasasti) sering menunjukan
variasi-variasi, tetapi tak pernah demikian luas. Dalam Sumanasantaka,
Jayawarsa disebut sebagai sri Warsajaya, dalam Krsnayana sebagai sri naranatha
Warsajaya. Gelar-gelar seperti naranatha dan nrpati tidak hanya dipakai oleh
raja yang sedang memerintah. Buku ini juga menyajikan hubungan Sumanasantaka
dengan sastra India secara lengkap.
Sedangkan dalam “Sumber Internet”
Ikhtisar Sumanasantaka disajikan dalam bentuk cerita menggunakan bahasa-bahasa yang lebih mudah dipahami oleh pembaca. Tidak
disajikan dari awal kejadian, melainkan disajikan pada inti dari kisah
sumanasantaka saja. Nama-nama raja sudah tidak menggunakan gelar-gelar
kekerajaan. Serta tidak menyajikan hubungan antara kisah Sumanasantaka dengan
sastra India.
9.
IKHTISAR
KRSNAYANA
KRSNAYANA, PENGARANG DAN WAKTU
PENULISANNYA “BUKU KALANGWAN”
Dalam
epilog Krsnayana hubungan Triguna dengan Warsajaya diumpamakan sebagai hubungan
antara mpu Kanwa dengan Erlangga. Keduanya merupakan salingsingan raja, diamana
kita tidak tahu apa arti dari istilah tersebut. Bila kata (dharma nira i
Salingsingan; bhatara i Salingsingan), kata ini hanya satu kali muncul lagi,
yaitu dalam prosa Rsisasana dalam bentuk golongan rohaniwan.
Sebuah ikhtisar mengenai Krsnayana telah disajikan di atas, bersama dengan sebuah perbandingan
dengan Hariwangsa.
IKHTISAR
KRSNAYANA. “SUMBER INTERNET”
Cerita yang terkandung dalam
ikhtisar ini sama dengan yang terdapat dalam Hariwangsa, yaitu dengan inti
adanya peristiwa perampasan Rukmini oleh Krsna, yang mengakibatkan perang yang
besar yang melibatkan Pandawa dan Korawa sebagai musuh Krsna saat itu.
10. ANALISIS DAN PENILAIAN TERHADAP DUA
SUMBER (BUKU KALANGWAN DAN SUMBER INTERNET)
Dalam buku “Kalangwan” kisah epilog
Krsnayana hubungan Triguna dengan Warsajaya diumpamakan sebagai hubungan antara
mpu Kanwa dengan Erlangga. Keduanya merupakan salingsingan raja, diamana kita
tidak tahu apa arti dari istilah tersebut. Bila kata (dharma nira i
Salingsingan; bhatara i Salingsingan).
Sedangkan dalam Sumber Internet kisah
Krsnayana cerita yang terkandung dalam
ikhtisar ini sama dengan yang terdapat dalam Hariwangsa, yaitu dengan inti
adanya peristiwa perampasan Rukmini oleh Krsna, yang mengakibatkan perang yang
besar yang melibatkan Pandawa dan Korawa sebagai musuh Krsna saat itu.
BHOMANTAKA ATAU BHOMAKAWYA
11. Ikhtisar
Bhomantaka
Para Rsi
memohon agar Krsna membantu para pertapa di Himalaya karena selalu
diganggu para raksasa. Krsna mengutus putranya Samba, di sana Samba tinggal
beberapa waktu dan bersahabat dengan murid Wiswamitra yang bernama Gunadewa.
Karena mendengar suatu cerita dari Gunadewa, Samba mengetahui bahwa pada
kehidupannya terdahulu ia pernah meninggalkan kekasihnya, Yajnyawati yang
menjadi anak angkat Naraka. Kemudian Samba berhasil menemui Yajnyawati disan
ketika hendak dilarikan, ia ketahuan oleh para Raksasa. Saat samba akan
menyerang kraton Bhoma, hal itu diketahui Narada dan menyarankan agar ia
kembali ke Dwarawati dulu untuk mengatus siasat sementara Yajnyawati diamankan
oleh anak buah Bhoma. Lalu pasukan disiapkan. Bhoma mencari sekutu antara lain
Jarasandha, Raja Cedi, Raja Magadha, dan Satruntapa. Dalam peperangan, semua
sekutu Kresna kalah. Akhirnya tibalah saat pertempuran antara Krsna dengan
Bhoma. Krsna kembali ke wujud Wisnu yang menggemparkan, dengan burung garudanya
yang menjauhkan senjata andalan Bhoma dari Bhoma sendiri dan akhirnya Bhoma
bisa dibunuh oleh Wisnu. Kemudian Indra menampakkan diri, memberikan anugrah
dan semuanya dihidupkan kembali kecuali Bhoma.
12. HUBUNGANNYA DENGAN SASTRA INDIA
Dengan
1492 baitnya Bhomantaka merupakan kakawin Jawa Timur yang terpanjang. Kita
tidak tahu bilamana kakawin ini ditulis oleh siapa. Kata pengantar merupakan
pujian terhadap dewa Manobhu, yaitu Kama yang menampakkan diri dalam segala
bentuk yang indah dan tercipta untuk merangsan para penyair. Sekaligus ia merupakan
Anangga, tanpa raga, didalam dunia yang kelihatan ini. Pada buku kapusatakan jawa juga diterangkan
bahwa tidak diketahui siapa yang membuat serat Bhomantaka tidak jelas. Tetapi
pada pembukaan berisi puji-pujian terhadap batara Kamajaya seperti serat
Smaradhana. Menurut DR VAN DER TUUK yang memiliki pengertian mengenai kedua
serat tersebut, bahwa serat Bhomantaka berbeda dengan serat Smaradana. Bab
berisi bahasa dan kikidungan.
Menurut consensus umum, karya ini di
golongkan pada karya-karya jaman Kediri. Pendapat ini didasarkan pada
pertimbangan mengenai bahasa, gaya dan cara temanya digarap.
Pertimbangan-pertimbangan ini, bila dipandang sendiri-sendiri, tidak begitu
meyakinkan, tetapi bersama-sama pertimbangan itu merupakan alasanyang cukup
kuat, untuk mengesampingkan setiap peride lain.
Dalam Hariwangsa dikatakan (52.4) mengenai Samba bahwa ia “ menyebabkan
kematian Bhoma oleh tangan Kresna dalam kisah Yajnawati yang terkenal itu”.
Dengan demikian akhir pemerintah Jayabhaya dapat dipandang sebagai terminus ante quem (patokan sebelum itu
terjadi) dan dengan demikian Bhomantaka, bersama dengan Arjunawiwaha, pada
urutan pertama dalam daftar kronologis sastra kakawin Jawa Timur, asal kita
merasa pasti, bahwa dengan “kisah Yajnawati yang terkenal itu” kakawin kita
inilah yang dimasukkan kedalamnya. Cerita tersebut juga sudah dikenal oleh umum
sebelum ditulis dalam bentuk khas sebagai sebuah kakawin, “cerita Yajnawati”
tidak dengan sendirinya sama dengan kakawin “Bhomantaka”. Pertempuran melawan
Bhoma juga disebut dalam Sutasoma (jaman
majapahit)
Teks kakawin sendiri tidak menyebut
judulnya. Dalam kolofon (catatan penutup) berbagai naskah, kakawin ini
dinamakan Bhomantaka (kematian Bhoma)
dan dengan judul ini kakawin tersebut dikenal dalam tradisi Jawa dan Bali. Maka
dari itu masuk akal, bahwa inilah cerita asli, bukannya Bhomakwaya akan tetapi dalam kapustakan jawa sering menyebutkan
istilah Bhomantaka dengan Bhomakwaya.
Serat Bhomantaka pada tahun 1852 di ceritakan
ke dalam tulisan jawa oleh DR FRIEDERICH. Sisanya di tulis ke dalam bahasa
Belanda yang di buat oleh DR TEEUW;
Proefschrift 1946. Pada edisi R. Frederich banyak dipakai oleh sarjana-sarjana
Barat. Kebiasaan ini rupanya disebabkan, karena ia tidak dapat menerjemahkan
suatu bagian dalam kata pengantar: disana disebutkan mengenai adanya sebuah
adaptasi cerita Bhomakawya dalam puisi jawa. Jelaslah disini pengarang
menunjukan sumber kisahnya. Istilah kawya menyarankan kemungkinan pertama. Tak
ada bukti, bahwa istilah ini yang jarang dipakai kedalam bahasa jawa kuno,
pernah digunakan selain daripada menurut arti teknisnya.
Seperti pernah diterangkan Teeuw
dalam kata pengantar bagi terjemahan mengenai kakawin ini, bagi mereka yang meneliti
hubungan kakawin ini dengan sumber-sumbr India, persoalan-persolan yang belum
dipecahkan cukup banyak jumlahnya.
Kita dapat membagi Bhomantaka menadi
dua bagian yang jelas berbeda: kisah mengenai Samba dan Yajnawati, dan
pelukisan tentang peperangan antara Bhoma dengan Krsna. Mengenai kisah pertama,
Teeuw, sambil mengikuti suatu saran dari H. Kern, menunjuk pada sebuah cerita
dalam Dasakumaracarita, karangan Dandin; disana diceritakan, bagaimana pangeran
Rajawahana mengenal kembali kekasihnya yang dulu, putri Awantisundari.
13. ANALISIS IKHTISAR BHOMĀNTAKA (KEMATIAN BHOMA) ATAU BHOMAKĀWYA
Asura Naraka (Sanskerta: नरकासुर; Narakāsura) adalah tokoh dalam mitologi
Hindu yang dikisahkan sebagai raja
raksasa dari Kerajaan Pragjyotisha
atau yang pada masa sekarang dikenal sebagai daerah Assam, di India Timur. Tokoh ini merupakan putra dari Pertiwi sehingga ia juga dikenal dengan sebutan Boma (Sanskerta: भौमासुर; Bhaumāsura), yang bermakna "anak
Bumi".
Ayah dari Naraka adalah Waraha, salah satu awatara Wisnu saat menolong bumi dari bencana yang disebabkan oleh Hiranyaksa. Akan tetapi karena kejahatannya, Naraka kemudian
tewas di tangan awatara Wisnu lainnya, yaitu Sri Kresna.
Selain dalam Bhagawatapurana, kisah kematian Naraka juga terdapat dalam karya
sastra Jawa Kuna
berjudul Kakawin Bhomakawya,
yang ditulis pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Pada zaman selanjutnya, Naraka ditampilkan sebagai
tokoh pewayangan dengan nama Boma Narakasura.
Peperangan Krsna melawan Naraka yang
berakhir dengan kematian raja raksasa itu, merupakan sebuah adegan yang umum
kita jumpai dalam legenda-legenda tentang Krsna. Tetapi dalam penjabarannyan
mengenai tema ini, Bhomantaka jauh berbeda dari versi-versi India. Dalam versi
India misalnya, sebab langsung yang mengorbankan konflik itu ialah permintaan
Indra agar Krsna membantu merebut kembali subang Aditi atau menurut suatu versi
lain ke-16.000 ribu putri yang dicuri oleh naraka. Mengenai peristiwa ini tidak
ada satu bekas pun dalam versi jawa kuno.
Maka dari itu dapat disimpulkan,
bahwa penelitian terhadap sastra India tidak menampilkan bahan baru yang
memberi keterangan, apakah pengarang kakawin ini mungkin mempergunakan
sumber-sumber India. Apa itu Bhomakwaya yang dipakai oleh pengarang kakawin
tidak diketahui.
Daftar Pustaka
Abimanyu, Sutha. 2012. Ringkasan
Buku "KALANGWAN" Karya Zoetmulder. http://julianatamanbali.blogspot.com/2012/02/ringkasan-buku-kalanguan-karya.html. Diunduh
pada tanggal 27 maret 2015.
Anis, Amah. 2014. BHOMĀNTAKA (KEMATIAN BHOMA) ATAU BHOMAKĀWYA. http://lawangsb.blogspot.com/2014/12/bhomantaka-kematian-bhoma-atau.html,
diunduh pada tanggal1 April 2015.
Wikipedia.
Kakawin Smaradahana. http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Smaradahana, diunduh pada tanggal 27 Maret 2015.
Wikipedia. 2008. Kamesywara. http://id.wikipedia.org/wiki/Kamesywara. Diunduh pada tanggal 19 april 2015.
Wikipedia. 2013. Narakasura. http://id.wikipedia.org/wiki/Narakasura.
Diunduh pada tanggal 19 april 2015.
Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan
Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Alih Bahasa Dick Hartoko S.J.
Yogyakarta: Djambatan.
0 komentar:
Posting Komentar