Pages

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Followers

My Blog List

My Blog List

My Blog List

Snag a button

Kamis, 23 April 2015

Analisis Buku Kalangwan




MPU DHARMAJA, MPU MONAGUNA DAN MPU TRIGUNA

1.      IKHTISAR SMARADAHANA

Ikhtisar Smaradahana “ BUKU KALANGWAN”
Pada saat itu surga terancam oleh Nilarudraka seorang raksaksa yang menjadi raja di senapura, dan hanya Siwa yang dapat menghadapi. Indra mengutus Kama untuk mengganggu yoga Siwa digunung meru didekat pohon darsana yang menaungi siwa tapa-brata, dua penjaga dalam wujud raksaksa, nadiswara dan mahakala, berusaha untuk menakut-nakuti sambil melepaskan daya kekuatan alam, tetapi mereka ditentramkan oleh para rsi, lalu mengundurkan diri. kama mendekati sang dewa yang sedang bersemedi dan menyembahnya dan seketika segala macam senjata dalam bentuk bunga diarahkan kepada siwa , tetapi tidak ada satupun yang dapat mengganggunya. Kama marah karena panahnya sia-sia dilepaskan. kama menyiapkan sebatang anak panah lain dalam bentuk bunga yang lebih kuat, kali ini panah mengenai sasarannya dan menembus hati siwa, sang dewa jatuh karena terkantuk dan dalam impian ia melihat uma duduk dipangkuannya, siwa menyadari bahwa itu ulah yang dilakukan kama, dalam sekejap Kama hangus oleh api yang terpancar dari Siwa. Para Dewa, Ratih dan yang lainnya menangisi Kematian Kama. Upacara pelayatan dilakukan pada musim semi dengan indah dan elok didalam hutan. Dengan rasa takut indra pulang seketika, tetapi ditegur oleh wrshpati karena sikapnya yang pengecut dan tidak menepati janjinya. Karena kesetiaannya, Ratih menceburkan diri ke api dan akhirnya bisa bertemu dengan Kama namun tak dapat bersatu karena tak berbadan. Kama memasuki hati Siwa, Ratih memasuki hati Uma. Dan tibalah pertemuan Siwa dengan Uma yang menghasilkan buah, Putra yang dilahirkan Uma menyerupai seekor gajah karena saat sebelum putra itu lahir, Indra membawa seekor gajah ke hadapan Uma yang membuat Uma merasa ketakutan. Lahirlah sang hyang Gana, dan saat Nilarudraka menyerang para Dewa, Ganalah yang akhirnya membunuh Nilarudraka saat peperangan para Dewa dengan para raksasa di bawah pimpinan Nilarudraka. Akhirnya dunia kembali damai.




2. Waktu Penulisan dan Pengarangnya
            Pengarang yang menamakan diri Mpu Dharmaja dalam cerita ini menunjukkan niatnya memuji Kama. Pujian tersebut mengawali syair dan ditujukan kepada Sri Kameswara di masa Daha (Kadiri) sebagai suatu tanda kehormatan. Bila dihubungkan  dengan pernyataan dalam pupuh 39, bahwa sri kameswara bersama permaisurinya sri dewi kirana memerintah pulau jawa sebagai raja dan ratu di tempat kediaman mereka  di dahana( daha= kadiri), maka ini memberikan sebuah indikasi mengenai tanggal digubahnya kakawin ini. Sesuai dengan sebuah prasasti dari tahun 1185 yang menyebut nama dan gelar-gelarnya, kameswara termasuk deretan nama raja-raja kadiri sebelum srngga-krtajaya. Ini berarti bahwa mpu dharmaja hidup pada jaman mpu panuluh, pengarang ghatotkacasraya.
Ikhtisar Kakawin Smaradahana (http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Smaradahana)
Ketika Batara Siwa pergi bertapa, Indralaya didatangi musuh, raksasa dengan rajanya bernama Nilarudraka, demikian heningnya dalam tapa, batara Siwa seolah-olah lupa akan kehidupannya di Kahyangan. Supaya mengingatkan batara Siwa dan juga agar mau kembali ke Kahyangan , maka oleh para dewa diutuslah batara Kamajaya untuk menjemputnya. Berangkatlah sang batara untuk mengingatkan batara Siwa, dicobanya dengan berbagai panah sakti dan termasuk panah bunga, tetapi batara Siwa tidak bergeming dalam tapanya. Akhirnya dilepaskannya panah pancawisesa yaitu:
  • hasrat mendengar yang merdu
  • hasrat mengenyam yang lezat
  • hasrat meraba yang halus
  • hasrat mencium yang harum
  • hasrat memandang yang serba indah
Akibat panah pancawisesa tersebut dewa Siwa dalam sekejap rindu kepada permaisurinya dewi Uma, tetapi setelah diketahuinya bahwa hal tersebut adalah atas perbuatan batara Kamajaya. Maka ditataplah batara Kamajaya melalui mata ketiganya yang berada di tengah-tengah dahi, hancurlah batara Kamajaya. Dewi Ratih istri batara Kamajaya melakukan "bela" dengan menceburkan diri kedalam api yang membakar suaminya. Para dewa memohonkan ampun atas kejadian tersebut, agar dihidupkan kembali, permohonan itu tidak dikabulkan bahkan dalam sabdanya bahwa jiwa batara Kamajaya turun ke dunia dan masuk kedalam hati laki-laki, sedangkan dewi Ratih masuk kedalam jiwa wanita. Ketika Siwa duduk berdua dengan dewi Uma, datanglah para dewa mengunjunginya termasuk dewa Indra dengan gajahnya, Airawata yang demikian dahsyatnya sehingga dewi Uma terperanjat dan ketakutan melihatnya, kemudian dewi Uma melahirkan putera berkepala gajah, dan kemudian diberi nama Ganesha. Datanglah raksasa Nilarudraka yang melangsungkan niatnya "menggedor" khayangan. Maka Ganesha lah yang harus menghadapinya, dalam perang tanding tersebut ganesha setiap saat berubah dan bertambah besar dan semakin dahsyat. Akhirnya musuh dapat dikalahkan, dan para dewa bersuka cita.
Raja Kediri
Dalam kitab Smaradahana, disebut-sebut nama Raja Kediri Prabu Kameswara yang merupakan titisan Dewa Wisnu yang ketiga kalinya dan berpermaisuri Sri Kirana Ratu putri dari kerajaan Jenggala.
3.      ANALISIS IKHTISAR SMARADAHANA
Berdasarkan 2 sumber yang kami baca ada perbedaan di antara kakawin smarandana:
Ø  Ikhtisar smaradahana “ buku kalangwan” tidak menyebutkan bahwa didalamnya terdapat panah pancawisesa yang dalam sekejap dapat membuat siwa rindu kepada permaisurinya, sedangkan di ikhtisar smarandahana (http://id.wikipedia.org/wiki/kakawin_smaradahana) terdapat panah pancawisesa yaitu hasrat mendengar yang merdu, hasrat mengenyam yang lezat, hasrat meraba yang halus, hasrat mencium yang harum,hasrat memandang yang serba indah yang dalam sekejap dewa siwa dapat rindu kepada permaisurinya dewi uma.
Ø  Ikhtisar smaradahana “ buku kalangwan” kama memasuki hati siwa dan ratih memasuki hati uma, sedangkan dalam ikhtisar smarandahana (http://id.wikipedia.org/wiki/kakawin_smaradahana) kamajaya memasuki hati laki-laki dan ratih memasuki hati perempuan(tidak jelas orangnya).
Ø  Susunan cerita relatif sederhana, yaitu : perbuatan kama yang lancang serta hukumannya; ratapan dan kematian ratih ; kelahiran putera siwa, serta perananya dalam memusnahkan para raksaksa. Oleh pengarang bagian-bagian ini lalu dilengkapi dengan uraian-uraian wajib dalam kakawin besar. Dipandang dari sudut smarandhana lebih dekat pada krsnayana dari pada syair panuluh.
Jadi ikhtisar smaradahana itu berkaitan dengan raja kediri prabu kameswara yang merupakan titisan dewa wisnu yang berpermaisuri sri kirana ratu putri dari kerajaan jenggala manik.sambungan atau kaitannya degan kediri Kamesywara adalah raja Kerajaan Kadiri yang memerintah sekitar tahun 1180-1190-an, dengan bergelar Sri Maharaja Sri Kameswara Triwikramawatara Aniwariwirya Anindhita Digjaya Uttunggadewa.
Pemerintahan Sri Kameswara
Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Kameswara naik takhta. Peninggalan sejarahnya antara lain prasasti Semanding, 17 Juni 1182, dan prasasti Ceker, 11 September 1185. Selain itu pada masa pemerintahan Sri Kameswara ini seorang pujangga bernama Mpu Dharmaja menulis Kakawin Smaradahana, yang berisi kisah kelahiran Ganesha, yaitu dewa berkepala gajah yang menjadi lambang Kerajaan Kadiri sebagaimana yang tertera pada prasasti-prasasti.
Kakawin Smaradahana juga mengisahkan terbakarnya Kamajaya dan Ratih, menjelang kelahiran Ganesha. Pasangan dewa-dewi tersebut kemudian menitis dalam diri Sri Kameswara raja Kadiri dan permaisurinya yang bernama Sri Kirana, putri Janggala.
Sejak berdiri tahun 1042, Kerajaan Kadiri dan Janggala selalu terlibat perang saudara. Pada tahun 1135 Sri Jayabhaya raja Kadiri berhasil menaklukkan Janggala, berdasarkan prasasti Ngantang. Ditambah lagi dengan perkawinan Sri Kameswara dengan Sri Kirana membuat persatuan kedua Negara lebih erat lagi.
Kakawin Smaradahana merupakan cikal bakal kisah-kisah Panji yang populer dalam masyarakat Jawa. Tokoh Panji Inu Kertapati Asmarabangun merupakan pangeran Janggala yang menikah dengan Galuh Candrakirana putri Kadiri. Dalam beberapa pementasan ketoprak, tokoh Panji kemudian menjadi raja Janggala bergelar Kameswara. Hal ini tentu saja kebalikan dari fakta sejarah.
Tidak diketahui kapan pemerintahan Sri Kameswara berakhir. Raja Kadiri selanjutnya berdasarkan prasasti Kamulan (1194) adalah Kertajaya.
4.       IKHTISAR SUMANASANTAKA 
IKHTISAR SUMANASANTAKA  “BUKU KALANGWAN”
          Brahmin Trnawindu, seorang murid Agastya, sedang bertapa-brata sehingga para dewa termasuk raja mereka, Indra merasa takut. Indra memanggil seorang bidadari yang bernama Dyah Harini yang diberi tugas untuk turun ke bumi dan menggoda  Trnawindu. Meski ketakutan Ia mulai turun ke bumi melewati pegunungan Windhya, Indrakila, Rewataka dan Gandhamadana, tanpa menemukan Trnawindu. Di lereng selatan gunung Gandamandana ia menemukansebuah pertapaan yang memencarkan cahaya ajaib, tanda kehahiran pertapa yang sakti.Setelah mandi dan berdandan di sungai agar terlihat lebih menarik, Harini menghaturkan salam hormat sambil memperlihatkan segala kecantikannya, tetapi sang pertapa tidak memberi kesan bahwa ia terpengaruh. Ia menanyakan mengapa ia sendirian mengembara di hutan. Adakah ia terpisah dari para pemburu istana.
          Harini mengira bahwa usaha untuk mempengaruhi sang pertapa tidak sia-sia. Ia tidak dating dari Surga Indra, melainkan diutus dewa Dharma sebagai anugerah atas kebaktian Trnawindu yang tak ada habisnya itu, agar ia melayaninya dan menyerahkan dirinya kepada cintanya. Sang pertapa yakin bahwa wanita itu datang untuk mengganggu tapa-bratanya dan bahwa indra mendalangi ini semua, dam Ia mengucapkan utukan bahwa Harini tidak akan kembali lagi ke surga. Harini kemudian meniggal dunia dan dewa Agni yang tinggal di dalam tubuhnya menghanguskan jenazahnya.
          Dibawah pemerintahan raja muda Negara menikmati kemakmuran besar. Beberapaa tahun kemudian tibalah saatnya bagi Indumati untuk dinikahkan dan iaa diberitahu oleh kakaknya mengenai rencananya untuk mengadakan suatu swayambara. Setelah memberi hormat kepada almarhum orang tauanya yang patunggnya dalam bentuk ardhanariswara berdiri dalam sebuah candi yang terletak di halaman kraton, Bhoja memberikan perintah bagi segala persiapan yang diperlukaan dan segera seluruh kota sibuk dengan aneka macam kegiatan. Raja-raja tetangga menerima undangan Bhoja; khusus berita bahwa raja Ayodhya, Raghu, memberi ijin kepada putranya  Aja, untuk ikut dalam swayambara itu, menyebabkan para wanita dalam keratin menjadi gandrung. Ada seorang wanita yang mempunyai alasan istimewa untuk menantikan kedatangan Aja dengan hati yang ber debar-debar.
          Aja memohon diri pada ayahnya yang memberikan petunjuk bagaimana ia haus bersikap, lalu berpamitan dengan ibunya. Ketika ia berangkat dengan suatu iringan besar para Brahmin mengucapkan mantra-mantra sekedar untuk mengucapkan selamat dan para wanita kota keluar dari rumahnya untuk menyampaikan selamat jalan dengan hati yang pilu. Kawidosa mengikuti Aja sebagai abdinya yang setia.
          Seketika dalam perjalanan, sampai di tepi sungai Narmada. Ketika mereka sedang beristirahat, seekor gajah liar muncul dari air dan menyerang mereka. Aja menyerang gajah itu dan membunuhnya dengan melepaskan satu anak panah saja. Seketika gajah itu menjelma menjadi seorang widyadharwa, yaitu Priyambada, putera raja Citraratha, seorang gandharwa. Sebagai tanda terima kasih ia mempersembahkan kepada Aja anak panah Sangmohana yang penuh kesaktian itu, bersama dengan pengetahuan tentang mantra-mantra yang dibutuhkan agar dapat mempergunakannya; anak panah itu tidak membunuh musuh, hanya membius.
          Para tamu berdarah ningrat telah tiba di Widarbha; kota penuh orang yang turut dalam rombongan para tamu. Ketika Raja Bhoja mendengar  bahwa Aja dating, ia menyongsongnya dan mengantarnya ke penginapan yang telah disediakan baginya. Swayambara akan dilangsungkan kekesokan harinya dan sang puteri mengungkapkan kepada para temannya betapa ia merasa ragu-ragu dan bingung menghadapi kejadian esok hari.
          Kota penuh dengan orang-orang dalam suasana pesta. Rakyat disepanjang jalan, khusus para wanita memperdengarkan ramalan dan komentar mereka ; yang menurutnya tipissekali kemungkinan seorang raja akan terpilih bila dibandingkan dengan pangeran Aja.
          Sang putri Indumati mendekati beberapa pangeran yang menyatakan cinta padanya, tetapi ia menolak semua pangeran. Kini indumati mendekati pangeran Aja dan dalam hati ia telah menjatuhkan pilihannya. Merekapun saling tertarik satu sama lain. Bagi pelamar lain inilah satu tanda kekalahan mereka, mereka merasa marah  dan meluaplah rasa kedongkolan mereka.
          Kedua kekasih meninggalkan pagelaran bersama-sama dalam satu Tndu dan segera upacara pernikahan dimulai. Setelah itu Aja mengungkapkan niatnya untuk pulang ke negerinya sendiri, tetapi Indumati memohon agar ia tinggal di Widarbha, jangan sampai ia meninggalkannya. Kakaknya pasti tersedia turun takhta dan menyerahkannya kepada Aja. Usul ini dtolak oleh Aja, tetepi ia juga merasa sedih jika harus berpisah.
          Disebuah dusun di pegunungan Aja diberitahu oleh para tua-tua,bahwa para raja yang ditolak itu merencanakan untuk menyergap kedua mempelai dengan tentara mereka. Dengan hati-hati Aja beserta rombongannya maju dan ketika mereka melihat pihak musuh,mereka lalu siap-siap untuk bertempur. Satu per satu raja menyerang Aja, tetapi senjata-senjata mereka ditumpulkannya dan ketia mereka menyerang bersama-sama ia tidak mundur. Aja menyerang mereka dengan senjata pemberian dari Priambada, yaitu Sangmohana, sehingga membius semua lawannya dan pertempuran selesai.
          Aja dan rombongannya meneruskan perjalanan dan tinggal beberapa lama dalam sebuah kabuyutan (pertapaan) untuk menikmati istirahat yang pantas serta keindahan hutan. Satu bulan sesudah mereka meninggalkan Widarbha, mereka tiba di Ayodhya. Tak lama kemudian raja Raghu mengundurkan diri agar puteranya dapat naik tahta. Beberapa waktu kemudian raja Raghu meninggal, dan Indumati melahirkan seorang putera yang diberi nama Dasaratha.
          Pada salah satu perjalanan Aja menulis sebuah sajak pendek pada papan bambu yang menitari sebuah mahatein (gardu); sajak itu berisi tentang kesedihan seorang kekasih yang akan bunuh diri. Sajak itu dibaca Indumati dan hatinya mulai merasa sedih. Indumati merasa takut kalau-kalau ia akan kehilangan Aja. Ketika Dewa Paramartha (Siwa) bersemayam di atas gunung Gokarna, ketujuh saptarsi (bijak-bijak dari surga) dating menyembah; di antara mereka terdapat Narada yang bernyanyi dan memeinkan sebuah alat musik. Sebuah kalung bunga sumanasa yang terikat akan alat itu terbawa angina dan jatuh pada dada Indumati. Seketika itu juga ia jatuh pingsan. Aja pun jatuh pingsan dan ketika ia terbangun kembali tubuh Indumati yang rupanya tak bernyawa lagi, terbaling di pangkuannya. Dengan tatapan yang penuh emosi ia mempersalahkan bunga sumanasa itu. Indumati sadar sesaat dan mengatakan pada Aja kalau dia harus setia padanya selama perpisahan menimpa mereka, kemudian ia meninggal.
          Delapan tahun kemudian Dasaratha naik takhta. Aja dan Kawidosa mengakhiri hidup mereka di sebuah tempat pemandian suci, yaitu pada pertemuan antara sungai Gangga dan Sarayu; mereka kembali ke surga dam di sana berjumpa dengan isterinya masing-masing. Di taman Nandana mereka dapat menyerahkan diri tanpa gangguan kepada kenikmatan karena mereka telah bersatu kembali. “Di taman Nandana tamatlah kisah Sumanasantaka’’.
5.      WAKTU PENULISAN DAN PENGARANGNYA “BUKU KALANGWAN”
          Krsnayana ditamatkan dengan membandingkan hubugan antara pengarang Triguna dengan sri naranatha Wasajaya di satu pihak dan mpu Kanwa dengan raja Erlangga di lain pihak. Kutipan ini hanya membuktikan, bahwa Warsajaya hidup sesudah jaman Erlangga. Ada banyak kebebasan dalam pemakaian nama dan gelar untuk menyebut seorang raja atau pangeran. Namanya disebut empat sampai lima kali, tetapi tidak pernah dalam bentuk Jayawarsa. Sebagai pengganti kita berjumpa dengan sri Sastraprabu, sri Jayadhartaprabu dan dua kali, sri Jayaprabu. Damais yang memperbaiki tanggal penulisan piagam itu (dulu tanggalnya dibaca sebagai 1026 Saka) mencatat ; “Gelar seorang raja (dalam prasasti-prasasti) sering menunjukan variasi-variasi, tetapi tak pernah demikian luas. Dalam Sumanasantaka, Jayawarsa disebut sebagai sri Warsajaya, dalam Krsnayana sebagai sri naranatha Warsajaya. Gelar-gelar seperti naranatha dan nrpati tidak hanya dipakai oleh raja yang sedang memerintah.
6.      HUBUNGANNYA DENGAN SASTRA INDIA “BUKU KALANGWAN”
          Dalam Sumanasantaka raja Raghu hanya memainkan peranan kecil, sehingga kurang masuk akal, bila Monaguna menamakan kakawinnya “Sumanasantaka, kisah tentang raja Raghu”. Tetapi andaikata kita menejermahkan  kata-kata itu dengan “kisah Sumanasantaka seperti diceritakan dalam kitab Raghu”, maka seketika menjadi jelas sekali. Cerita tentang Aja dan Indumati sangat terkenal dalam sastra India, karena merupakan bagian dari mahakawya Raghuvamsa (silsilah Raghu).
7.      IKHTISAR SUMANASANTAKA, PENGARANG  DAN WAKTU PENULISANNYA. “SUMBER INTERNET”
            Karena suatu ketakutan, Indra mengutus Harini untuk menggoda Trnawindu yang sedang melakukan tapa brata. Trnawindu mengetahui bahwa ini adalah siasat Indra. Ia marah, mengutuk Harini akan dilahirkan sebagai manusia. Harini memohon agar kutukan itu dicabut namun itu tidak dapat dilakukan. Tapi Trnawindu berjanji bahwa kekasihnya di surga akan dilahirkan sebagai manusia (pangeran Aja), dan riwayat Harini akan ditamatkan oleh sekuntum bunga Sumanasa. Harini dilahirkan sebagai putri seorang raja yang memerintah rakyat Krthakesika, ia bernama Indumati namun akhirnya kedua orang tuanya meninggal dan tahta diambil alih oleh kakaknya yaitu pangeran Bhoja. Bhoja mengadakan Sayembara untuk Indumati dan pangeran Aja dari Ayodya keluar sebagai pemenang dan berhasil membawa pulang Indumati sebagai istrinya, mempunyai anak yang bernama Dasaratha. Suatu saat, Narada melakukan suatu pujaan dengan memainkan alat musik bersama dengan para Sapta Rsi. Sebuah kalung bunga Sumanasa jatuh dari alat musiknya dan jatuh di dada Indumati, dan beberapa saat kemudian ia meninggal dan kembali ke surga. Pangeran aja meninggal di sebuah tempat pemandian suci pertemuan sungai Gangga dengan Sarayu. Delapan tahun kemudian Dasaratha naik tahta.  Ini adalah syair pertama yang ditulis oleh Mpu Monaguna, ditulis pada masa Kadiri tepatnya pada masa Raja Warsajaya, yakni Warsajaya sendiri merupakan guru dari Monaguna.
8.      ANALISIS IKHTISAR SUMANASANTAKA
Dalam buku “Kalangwan”  kisah Ikhtisar Sumanasantaka disajikan secara lengkap dari kejadian awal sampai akhir. Juga masih menggunakan nama-nama raja disebut empat sampai lima kali, tetapi tidak pernah dalam bentuk Jayawarsa. Sebagai pengganti kita berjumpa dengan sri Sastraprabu, sri Jayadhartaprabu dan dua kali, sri Jayaprabu. Damais yang memperbaiki tanggal penulisan piagam itu (dulu tanggalnya dibaca sebagai 1026 Saka) mencatat ; “Gelar seorang raja (dalam prasasti-prasasti) sering menunjukan variasi-variasi, tetapi tak pernah demikian luas. Dalam Sumanasantaka, Jayawarsa disebut sebagai sri Warsajaya, dalam Krsnayana sebagai sri naranatha Warsajaya. Gelar-gelar seperti naranatha dan nrpati tidak hanya dipakai oleh raja yang sedang memerintah. Buku ini juga menyajikan hubungan Sumanasantaka dengan sastra India secara lengkap.
Sedangkan dalam “Sumber Internet” Ikhtisar Sumanasantaka disajikan dalam bentuk cerita  menggunakan bahasa-bahasa yang  lebih mudah dipahami oleh pembaca. Tidak disajikan dari awal kejadian, melainkan disajikan pada inti dari kisah sumanasantaka saja. Nama-nama raja sudah tidak menggunakan gelar-gelar kekerajaan. Serta tidak menyajikan hubungan antara kisah Sumanasantaka dengan sastra India.
9.      IKHTISAR KRSNAYANA
KRSNAYANA, PENGARANG DAN WAKTU PENULISANNYA “BUKU KALANGWAN
          Dalam epilog Krsnayana hubungan Triguna dengan Warsajaya diumpamakan sebagai hubungan antara mpu Kanwa dengan Erlangga. Keduanya merupakan salingsingan raja, diamana kita tidak tahu apa arti dari istilah tersebut. Bila kata (dharma nira i Salingsingan; bhatara i Salingsingan), kata ini hanya satu kali muncul lagi, yaitu dalam prosa Rsisasana dalam bentuk golongan rohaniwan.
          Sebuah ikhtisar mengenai Krsnayana telah disajikan  di atas, bersama dengan sebuah perbandingan dengan Hariwangsa.
IKHTISAR KRSNAYANA. “SUMBER INTERNET”
            Cerita yang terkandung dalam ikhtisar ini sama dengan yang terdapat dalam Hariwangsa, yaitu dengan inti adanya peristiwa perampasan Rukmini oleh Krsna, yang mengakibatkan perang yang besar yang melibatkan Pandawa dan Korawa sebagai musuh Krsna saat itu.
10.  ANALISIS DAN PENILAIAN TERHADAP DUA SUMBER (BUKU KALANGWAN DAN SUMBER INTERNET)
Dalam buku “Kalangwan” kisah epilog Krsnayana hubungan Triguna dengan Warsajaya diumpamakan sebagai hubungan antara mpu Kanwa dengan Erlangga. Keduanya merupakan salingsingan raja, diamana kita tidak tahu apa arti dari istilah tersebut. Bila kata (dharma nira i Salingsingan; bhatara i Salingsingan).
Sedangkan dalam Sumber Internet kisah Krsnayana  cerita yang terkandung dalam ikhtisar ini sama dengan yang terdapat dalam Hariwangsa, yaitu dengan inti adanya peristiwa perampasan Rukmini oleh Krsna, yang mengakibatkan perang yang besar yang melibatkan Pandawa dan Korawa sebagai musuh Krsna saat itu.




BHOMANTAKA ATAU BHOMAKAWYA

11.  Ikhtisar Bhomantaka
Para Rsi memohon agar Krsna membantu para pertapa di Himalaya  karena selalu diganggu para raksasa. Krsna mengutus putranya Samba, di sana Samba tinggal beberapa waktu dan bersahabat dengan murid Wiswamitra yang bernama Gunadewa. Karena mendengar suatu cerita dari Gunadewa, Samba mengetahui bahwa pada kehidupannya terdahulu ia pernah meninggalkan kekasihnya, Yajnyawati yang menjadi anak angkat Naraka. Kemudian Samba berhasil menemui Yajnyawati disan ketika hendak dilarikan, ia ketahuan oleh para Raksasa. Saat samba akan menyerang kraton Bhoma, hal itu diketahui Narada dan menyarankan agar ia kembali ke Dwarawati dulu untuk mengatus siasat sementara Yajnyawati diamankan oleh anak buah Bhoma. Lalu pasukan disiapkan. Bhoma mencari sekutu antara lain Jarasandha, Raja Cedi, Raja Magadha, dan Satruntapa. Dalam peperangan, semua sekutu Kresna kalah. Akhirnya tibalah saat pertempuran antara Krsna dengan Bhoma. Krsna kembali ke wujud Wisnu yang menggemparkan, dengan burung garudanya yang menjauhkan senjata andalan Bhoma dari Bhoma sendiri dan akhirnya Bhoma bisa dibunuh oleh Wisnu. Kemudian Indra menampakkan diri, memberikan anugrah dan semuanya dihidupkan kembali kecuali Bhoma.

12.  HUBUNGANNYA DENGAN SASTRA INDIA
            Dengan 1492 baitnya Bhomantaka merupakan kakawin Jawa Timur yang terpanjang. Kita tidak tahu bilamana kakawin ini ditulis oleh siapa. Kata pengantar merupakan pujian terhadap dewa Manobhu, yaitu Kama yang menampakkan diri dalam segala bentuk yang indah dan tercipta untuk merangsan para penyair. Sekaligus ia merupakan Anangga, tanpa raga, didalam dunia yang kelihatan ini.   Pada buku kapusatakan jawa juga diterangkan bahwa tidak diketahui siapa yang membuat serat Bhomantaka tidak jelas. Tetapi pada pembukaan berisi puji-pujian terhadap batara Kamajaya seperti serat Smaradhana. Menurut DR VAN DER TUUK yang memiliki pengertian mengenai kedua serat tersebut, bahwa serat Bhomantaka berbeda dengan serat Smaradana. Bab berisi bahasa dan kikidungan.
Menurut consensus umum, karya ini di golongkan pada karya-karya jaman Kediri. Pendapat ini didasarkan pada pertimbangan mengenai bahasa, gaya dan cara temanya digarap. Pertimbangan-pertimbangan ini, bila dipandang sendiri-sendiri, tidak begitu meyakinkan, tetapi bersama-sama pertimbangan itu merupakan alasanyang cukup kuat, untuk mengesampingkan setiap peride lain.
Dalam Hariwangsa dikatakan (52.4) mengenai Samba bahwa ia “ menyebabkan kematian Bhoma oleh tangan Kresna dalam kisah Yajnawati yang terkenal itu”. Dengan demikian akhir pemerintah Jayabhaya dapat dipandang sebagai terminus ante quem (patokan sebelum itu terjadi) dan dengan demikian Bhomantaka, bersama dengan Arjunawiwaha, pada urutan pertama dalam daftar kronologis sastra kakawin Jawa Timur, asal kita merasa pasti, bahwa dengan “kisah Yajnawati yang terkenal itu” kakawin kita inilah yang dimasukkan kedalamnya. Cerita tersebut juga sudah dikenal oleh umum sebelum ditulis dalam bentuk khas sebagai sebuah kakawin, “cerita Yajnawati” tidak dengan sendirinya sama dengan kakawin “Bhomantaka”. Pertempuran melawan Bhoma juga disebut dalam Sutasoma (jaman majapahit)
Teks kakawin sendiri tidak menyebut judulnya. Dalam kolofon (catatan penutup) berbagai naskah, kakawin ini dinamakan Bhomantaka (kematian Bhoma) dan dengan judul ini kakawin tersebut dikenal dalam tradisi Jawa dan Bali. Maka dari itu masuk akal, bahwa inilah cerita asli, bukannya Bhomakwaya akan tetapi dalam kapustakan jawa sering menyebutkan istilah Bhomantaka dengan Bhomakwaya.
 Serat Bhomantaka pada tahun 1852 di ceritakan ke dalam tulisan jawa oleh DR FRIEDERICH. Sisanya di tulis ke dalam bahasa Belanda  yang di buat oleh DR TEEUW; Proefschrift 1946. Pada edisi R. Frederich banyak dipakai oleh sarjana-sarjana Barat. Kebiasaan ini rupanya disebabkan, karena ia tidak dapat menerjemahkan suatu bagian dalam kata pengantar: disana disebutkan mengenai adanya sebuah adaptasi cerita Bhomakawya dalam puisi jawa. Jelaslah disini pengarang menunjukan sumber kisahnya. Istilah kawya menyarankan kemungkinan pertama. Tak ada bukti, bahwa istilah ini yang jarang dipakai kedalam bahasa jawa kuno, pernah digunakan selain daripada menurut arti teknisnya.
Seperti pernah diterangkan Teeuw dalam kata pengantar bagi terjemahan mengenai kakawin ini, bagi mereka yang meneliti hubungan kakawin ini dengan sumber-sumbr India, persoalan-persolan yang belum dipecahkan cukup banyak jumlahnya.
Kita dapat membagi Bhomantaka menadi dua bagian yang jelas berbeda: kisah mengenai Samba dan Yajnawati, dan pelukisan tentang peperangan antara Bhoma dengan Krsna. Mengenai kisah pertama, Teeuw, sambil mengikuti suatu saran dari H. Kern, menunjuk pada sebuah cerita dalam Dasakumaracarita, karangan Dandin; disana diceritakan, bagaimana pangeran Rajawahana mengenal kembali kekasihnya yang dulu, putri Awantisundari.

13.  ANALISIS IKHTISAR BHOMĀNTAKA (KEMATIAN BHOMA) ATAU BHOMAKĀWYA
Asura Naraka (Sanskerta: नरकासुर; Narakāsura) adalah tokoh dalam mitologi Hindu yang dikisahkan sebagai raja raksasa dari Kerajaan Pragjyotisha atau yang pada masa sekarang dikenal sebagai daerah Assam, di India Timur. Tokoh ini merupakan putra dari Pertiwi sehingga ia juga dikenal dengan sebutan Boma (Sanskerta: भौमासुर; Bhaumāsura), yang bermakna "anak Bumi".
Ayah dari Naraka adalah Waraha, salah satu awatara Wisnu saat menolong bumi dari bencana yang disebabkan oleh Hiranyaksa. Akan tetapi karena kejahatannya, Naraka kemudian tewas di tangan awatara Wisnu lainnya, yaitu Sri Kresna.
Selain dalam Bhagawatapurana, kisah kematian Naraka juga terdapat dalam karya sastra Jawa Kuna berjudul Kakawin Bhomakawya, yang ditulis pada zaman kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Pada zaman selanjutnya, Naraka ditampilkan sebagai tokoh pewayangan dengan nama Boma Narakasura.
Peperangan Krsna melawan Naraka yang berakhir dengan kematian raja raksasa itu, merupakan sebuah adegan yang umum kita jumpai dalam legenda-legenda tentang Krsna. Tetapi dalam penjabarannyan mengenai tema ini, Bhomantaka jauh berbeda dari versi-versi India. Dalam versi India misalnya, sebab langsung yang mengorbankan konflik itu ialah permintaan Indra agar Krsna membantu merebut kembali subang Aditi atau menurut suatu versi lain ke-16.000 ribu putri yang dicuri oleh naraka. Mengenai peristiwa ini tidak ada satu bekas pun dalam versi jawa kuno.
Maka dari itu dapat disimpulkan, bahwa penelitian terhadap sastra India tidak menampilkan bahan baru yang memberi keterangan, apakah pengarang kakawin ini mungkin mempergunakan sumber-sumber India. Apa itu Bhomakwaya yang dipakai oleh pengarang kakawin tidak diketahui.  






Daftar Pustaka

Abimanyu, Sutha. 2012. Ringkasan Buku "KALANGWAN" Karya Zoetmulder. http://julianatamanbali.blogspot.com/2012/02/ringkasan-buku-kalanguan-karya.html. Diunduh pada tanggal 27 maret 2015.
Anis, Amah. 2014. BHOMĀNTAKA (KEMATIAN BHOMA) ATAU BHOMAKĀWYA. http://lawangsb.blogspot.com/2014/12/bhomantaka-kematian-bhoma-atau.html, diunduh pada tanggal1 April 2015.
Wikipedia. Kakawin Smaradahana. http://id.wikipedia.org/wiki/Kakawin_Smaradahana, diunduh pada tanggal 27 Maret 2015.

Wikipedia. 2008. Kamesywara. http://id.wikipedia.org/wiki/Kamesywara. Diunduh pada tanggal 19 april 2015.

Wikipedia. 2013. Narakasura. http://id.wikipedia.org/wiki/Narakasura. Diunduh pada tanggal 19 april 2015.
Zoetmulder, P.J. 1983. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Alih Bahasa Dick Hartoko S.J. Yogyakarta: Djambatan.

0 komentar:

Posting Komentar